Posted by: YaBISA | April 23, 2010

Pemberdayaan Sosial Ekonomi Sebagai Suatu Model Evangelisasi Dalam Konteks Indonesia


Oleh: Ola Rongan Wilhelmus

(Tulisan ini telah diseminarkan di hadapan para dosen, mahasiswa dan undangan dalam rangka perayaan pesta emas STKIP Widya Yuwana Madiun pada bulan Februari, 2010).

Pak Wilhem Yayasan Bangun Insan SwadayaMasyarakat dan umat Katolik Indonesia terus berhadapan dengan permasalahan sosial-ekonomi yang terus membingungkan. Ketika pemerintah terus mengucur dana ratusan miliar rupiah setiap tahun untuk pemberdayaan sosial-ekonomi dan pengetasan kemiskinan, jumlah masyarakat miskin tetap tidak pernah mengalami penurunan. Di saat proyek pemberdayaan sosial-ekonomi semakin keras ditiup dan digembar-gembor, masyarakat bukanya mengalami pembebasan dan kesejahteraan sosial-ekonomi malainkan semakin bergantung kepada segelintir elit pengusaha, politisi dan investor asing. Persoalan ini  menunjukkan realitas bahwa kesejahteraan dan keadilan sosial-ekonomi dalam hidup bersama sebagai suatu bangsa masih jauh dari harapan. Menghadapi kenyataan ini, kiranya salah satu tugas utama dari kita sebagai Gereja ialah mencermati atau menganalisis situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya  secara mendalam dan menyeluruh dalam rangka mencari suatu bentuk evangelisai yang diharapkan dapat membawa pembebasan bagi masyarakat kecil atau membuat mereka bisa keluar dari belenggu kemiskinan dengan  kekuatan sendiri.

Tulisan ini bermaksud melakukan suatu analisis singkat atas persoalan sosial-ekonomi khususnya kemiskinan yang dihadapi masyarakat dan bangsa kita; mengkeritisi  persoalan ini dalam perspektif iman Kristen; dan melakukan diskusi tentang pemberdayaan sosial ekonomi sebagai suatu model evangelisasi yang dapat dikembangkan  Gereja Katolik. Menjawabi tujuan penulisan ini maka, makalah ini secara berurut-turut akan melakukan diskusi tentang: 1) pemahaman dasar tentang ekonomi dan pemberdayaan sosial ekonomi; 2) masalah sosial-ekonomi dan kemiskinan Indonesia; 3) respons atas masalah sosial-ekonomi dan kemiskinan dalam terang Iman Kristiani; dan 4) pemberdayaan sosial ekonomi sebagai sebuah model evangelisasi dalam Gereja.

Ekonomi dan Pemberdayaan

Istilah ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani yaitu ”oikos” dan ”nomos”. Artinya ‘tata kelola rumah tangga’. Tata-kelola itu diperlukan supaya kesejahteraan hidup rumah tangga bisa tercapai. Disini istilah ‘ekonomi’ merujuk pada proses atau usaha pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan hidup rumah tangga. Akan tetapi mengingat bahwa barang dan jasah yang diperlukan untuk hidup itu sangat terbatas, sementara kebutuhan hidup manusia sangat banyak dan beragam maka, istilah ekonomi juga mengandung arti ”seni memilih secara bijak antara banyaknya kebutuhan di satu pihak dan terbatasnya sumberdaya (beli) dan sarana (tukar) di lain pihak”. Dalam perkembangannya, ”ekonomi” yang  artinya tata kelola rumah tangga itu diperluas menjadi ”tata kelola negara-bangsa”. Pada konteks ini, ekonomi mengandung  arti  seni-mengelola sumberdaya yang dimiliki suatu negara demi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan hidup bersama (KWI, 2006).

Pembangunan sosial-ekonomi keluarga dan negara terus saja menjadi konsern dan tugas utama dalam kehidupan setiap orang dan anggota masyarakat. Mengapa? Sebab setiap manusia hanya bisa menghayati kebebasannya secara penuh kalau memiliki landasan hidup sosial-ekonomi yang baik mengingat ekonomi merupakan titik tolak kemajuan pendidikan, kesehatan serta kelayakan hidup sebagai pribadi manusia. Pada titik ini, masyarakat miskin, lemah dan terpinggirkan perlu dibantu sehingga berkembang dan memiliki kehidupan sosial-ekonomi yang layak sebagai manusia. Bantuan itu dapat diberikan antara lain melalui kegiatan pemberdayaan sosial-ekonomi keluarga dan komunitas basis dengan sasaran kemandirian sosial-ekonomi keluarga atau komuntas basis (Morison, 2008; Hanh, 2001)

Apa itu pemberdayaan sosial-ekonomi? Pemberdayaan sosial-ekonomi ialah usaha memberi pengetahuan, keterampilan serta menumbuhkan kepercayaan diri serta kemauan kuat dalam diri seseorang sehingga mampu membangun suatu kehidupan sosial-ekonomi yang lebih baik dengan kekuatan sendiri. Singkatnya, pemberdayaan sosial-ekonomi bermaksud menciptakan manusia swadaya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pemberdayaan sosial-ekonomi ini pada intinya dapat diupayakan melalui berbagai kegiatan antara lain pelatihan, pendampingan, penyuluhan, pendidikan dan keterlibatan berorganisasi demi menumbuhkan dan memperkuat motivasi hidup dan usaha, serta pengembangan pengetahuan dan keterapilan hidup dan kerja. Pemberdayaan ini perlu dilakukan atas keyakinan dasar bahwa setiap orang termasuk orang yang paling miskin sekalipun mampu mengubah hidupnya dengan kekuatan sendiri. Keyakinan ini perlu terus ditumbuh-kembangkan dan menjadi kultur hidup sehari-hari. Cita-cita pemberdayaan ialah ”berdiri di atas kaki sendiri” (Blackburn, 2005; Morison, 2008).

Tantangan terbesar terhadap pemberdayaan sosial-ekonomi ialah masyarakat kecil terlalu sering dibuat bergantung kepada sistem pemerintahan, birokrasi, institusi politik dan ekonomi yang otoriter dan feodalistik yang dimainkan para pengusaha besar dan internasional corperation yang erat bekerjasama dengan para politisi nasional dan lokal. Hal ini mengakibatkan pembangunan sosial-ekonomi berbasis kemandirian masyarakat kecil di tanah air saat ini kurang berkembang. Sebaliknya ketergantungan masyarakat kepada para pengusaha, pemilik modal dan pemerintah semakin besar. Faktor lain yang menghambat pembangunan sosial-ekonomi yang berbasis kemandirian ialah terus membengkaknya utang luar negeri. Kwik Gian Gie (2009) berpendapat bahwa utang luar negeri tidak menguntungkan perputaran roda kemandirian ekonomi rakyat sebab memperlemah investasi masyarakat serta menghancurkan manajemen ekonomi nasional dan lokal yang berorientasi pada kemandirian sosial-ekonomi rakyat.

Menghadapi tantangan ini, perlu dibangun suatu etos kemandirian berpikir, mengambil keputusan serta bertindak atas dasar kesadaran dan pertimbangan pribadi dalam diri masyarakat. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Abdul Rahman Wahid (2004) bahwa kualitas masyarakat mandiri perlu ditingkatkan sehingga lebih mampu mengatasi persoalan hidup sehari-hari, memiliki daya tawar terhadap pemerintah, pasar dan dunia perdagangan internasional yang terus menguasai situasi pasar dan industri di tanah air.

Poteret Kehidupan Sosial-Ekonomi

Di tengah kelimpahan sumberdaya alam, kita terus menyaksikan bahwa masih ada sekian banyak warga masyarakat Indonesia yang masih sangat miskin dan memprihatinkan. Data statistik Indonesia (2009) menunjukan bahwa 39.05 juta atau 17.5 % dari total masyarakat Indonesia hidup dalam keadaan sangat miskin karena hanya mampuh mempertahankan hidupnya dengan total biaya hidup sekitar Rp 5128 / hari. Kalau kita menggunakan standar hidup Rp 15.000/hari/orang maka jumlah warga masyarakat miskin di Indonesia meningkat drastis menjadi 110 juta atau 49 % dari total penduduk Indonesia saat ini (World Bank, 2009; BPSN, 2009). Di Jawa Timur,  hasil survey  sosial-ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik Jatim (2008) mengatakan bahwa jumlah penduduk yang terkatagori sangat miskin di Jawa Timur tercatat sekitar 7,456 juta jiwa atau 18.93 % dari jumlah total penduduk propinsi ini. Angka kemiskinan ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka kemiskinan tahun 2007  yaitu 7, 138 juta jiwa.

Menghadapi kenyataan ini, banyak upaya telah dilakukan baik oleh pihak pemerintah dan swasta untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Meskipun demikian, upaya yang dilakukan itu belum menunjukkan kemajuan yang berarti hingga saat ini. Mengapa? Karena pemerintah dan partner bisnis papan atas terus mempromosikan investasi dan usaha bersekala besar yang terus didominasi pemilik modal besar. Sementara itu usaha-usaha ekonomi bersekala kecil atau mikro menyangkut hanyat majoritas masyarakat Indonesia justeru kurang mendapat perhatian (KWI, 2006; Ola Rongan, 2009).

Saat ini aset-aset masyarakat dan negara terus dikuasai pengusaha besar dan International corporations. Sumberdaya produktif masyarakat kecil seperti lahan basah dan kering serta hutan terus mengalami penciutan dari tahun ke tahun. Sumberdaya ekonomi rakyat kecil ini begitu mudah berubah menjadi pusat-pusat perbelanjaan besar dengan kehadiran mall dimana-mana. Situasi ini tercipta karena dukungan kebijakan ekonomi nasional yang cendrung berpihak kepada usaha-usaha bersekala besar dan investor asing. Kebijakan ekonomi ini berakibat buruk bagi kebanyakan masyarakat kelas menegah ke bawah. Sebab kebijakan ini bukannya mengurangi angka kemiskinan tetapi menciptakan ketergantungan luar biasa dari masyarakat kecil dan menengah ke bawah kepada segelintir orang yang menguasai kegiatan ekonomi bersekala besar. Dari tahun ke tahun, daya serap dari usaha-usaha berskala besar atas tenaga kerja yang tidak profesional terus menurun. Akibatnya jumlah lapangan kerja menurun dan jumlah penganggur pada sektor kelas menengah ke bawah terus meningkat.

Ketika penggangguran dan kemiskinan meningkat maka, jumlah anak yang putus sekolah pasti bertambah. Sementara itu, kejahatan dan kekerasan sosial meningkat, gizi buruk bertambah. Dampak kemiskinan dan pengangguran ini lebih sering dialami oleh segmen masyarakat paling lemah, khusnya anak-anak dan para ibu. Tahun 2007, jumlah bayi yang lahir dengan kondisi berat badan rendah karena kurang gizi, mencapai 350.000. Sementara itu bayi di bawah lima tahun (balita) yang menderita busung lapar berjumlah 1,67 juta. Jumlah ini meningkat menjadi 2,4 juta pada tahun 2008. Jumlah kematian ibu yang melahirkan adalah 307 per 100.000 kelahiran pada tahun 2007. Ini berarti, dalam setiap1 jam terdapat 2 ibu di Indonesia meninggal ketika sedang bersalin (BPSN, 2008).

Wajah kemiskinan ini hadir berdampingan dengan penumpukan kekayaan oleh sekelompok kecil masyarakat Indonesia. Mereka terus hidup dalam suasana kelimpahan. Situasi ini sebetulnya memberikan suatu potret nyata bahwa bangsa kita telah kehilangan kepedulian pada cita-cita kesejahteraan bersama. Pertanyaannya ialah apa kiranya yang menyebabkan kesuraman ekonomi serta kemiskinan ini? Analisis sosial dan ekonomi telah menemukan sejumlah faktor penyebab. Diantaranya ialah penerapan mekanisme pasar secara brutal, kebijakan publik yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil, globalisasi dan kesenjangan budaya.

Saat ini tengah berlangsung kecenderungan kuat untuk menerapkan mekanisme pasar ke semua bidang kehidupan. Mekanisme pasar memegang teguh prinsip ”hak hidup seseorang atas barang/jasa ditentukan oleh daya-beli”. Konsekuensi dari prinsip ini ialah semakin seseorang mempunyai uang, semakin dianggap lebih “berhak” atas barang/jasa tertentu. Sebaliknya, semakin seseorang tidak mempunyai uang, semakin ia dianggap “tidak berhak” termasuk hak atas kebutuhan hidup yang paling mendasar seperti makanan, pendidikan dan  kesehatan (KWI. 2006; KWI. 2008).

Kita tentunya sependapat bahwa perdagangan (pertukaran) perlu diciptakan karena   mempermudah perolehan barang dan jasah demi pemenuhan kebutuhan hidup. Akan tetapi mekanisme pasar ini tidak bisa diterapkan dalam semua hal. Sebab banyak kebutuhan dasar menyangkut kelangsungan hidup bersama seperti  makanan, pendidikan dan kesehatan (obat-obatan) seharusnya tetap dijaga sebagai milik bersama. Penerapan mekanisme pasar secara membabi buta ke semua bidang kehidupan tidak akan membantu pencapaian kesejahteraan hidup bersama serta menyangkal hak asasi dari ratusan juta masyarakat Indonesia atas kebutuhan hidup pokok terutama makanan, pendidikan dan jaminan kesehatan. Kalapun masyarakat kecil mengalami kesejahteraan ditengah penerapan mekanisme pasar seperti ini maka, kesejahteraan yang dialami itu tidak lebih dari sekedar hasil “tetesan ke bawah” dari segelintir orang kaya yang berkelebihan. Praktek kehidupan sosial-ekonomi seperti ini tentunya menciptakan ketergantungan dan kemiskinan dan bukanya pembebasan. Disni ekonomi yang berbasis pasar tidak lagi terkait dengan cita-cita kesejahteraan bersama   serta kemanusiaan (Morison, 2008; KWI, 2006).

Ditengah kehidupan mekanisme pasar yang merugikan masyarakat ini, pemerintah seharusnya menjaga dan memastikan bahwa kesejahteraan bersama tetap menjadi tujuan utama hidup berbangsa yang diperjuangkan melalui berbagai kebijakan publik. Kebijakan publik merupakan perangkat utama pemerintah untuk mengejar tujuan dan kesejahteraan bersama. Akan tetapi keyataan hidup menunjukan bahwa banyak oknum pemerintah lebih suka memanfaatkan posisi jabatan serta kebijakan publik untuk memperkaya diri. Tidak sedikit kalangan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif terus mengingkari mandat yang diterimanya dari masyarakat untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama. Mereka lebih mengutamakan perjuangan kenainkan gaji dan tunjangan hidup pribadi dari pada kepentingan dan kemajuan masyarakat yang diwakili.

Kondisi sosio-ekonomi yang suram saat ini sering juga dikaitakan dengan proses globalisasi. Globalisasi memang memunculkan harapan baru karena memberi atau menawarkan banyak kebaikan dan kemudahan. Sebagai contoh, akses terhadap kemudahan informasi, ilmu pengetahuan  dan teknologi  saat ini menjadi sangat mudah karena proses globalisasi serta perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa. Globalisasi juga memberi kemudahan luar biasa kepada para pengusaha besar dan dunia international corporations untuk menetukan dan mengendalikan harga jual-beli pasar sesuai dengan  pertimbangan profit sendiri. Akibatnya, kaum miskin yang memiliki daya beli rendah sering menjadi korban mekanisme harga-jual beli pasar. Hidup dan mati masyarakat kecil seperti petani, nelayan, buruh pabrik dan perusahan menjadi semakin bergantung pada kebaikan dan kemurahan hati dari mereka yang menguasai mekanisme ekonomi pasar (Narayaan, 2002; Morison, 2008).

Observasi dan analisa sosial menunjukan bahwa saat ini masyarakat kita telah mengalami sebuah kesenjangan budaya. Hal ini bisa terlihat dari munculnya suatu kebiasaan hidup dan pola berpikir serta tindak yang tidak lagi sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Misalkan saja, bertumbuhnya sikap dan kebiasaan menghamburkan sumberdaya ekonomi untuk keperluan pesta; korupsi waktu, uang, jabatan; serta minum mabuk sampai mati. Keadaan ini diperparah dengan cara berpikir dan memandang bahwa”ekonomi pasar” merupakan sumber segala kemajuan. Cara pikir ini membuat prinsip kesejahteraan bersama lalu dianggap sebagai hasil sampingan dari pengejaran kepentingan pribadi/individual. Kemudian kesejahteraan masyarakat kecil merupakan hasil belas kasihan dari mereka yang kaya dan berkelimpahan.

Meneropong Realitas Sosial-Ekonomi Dalam Terang Iman Kristiani

Gereja yakin bahwa dimensi moral dari kehidupam sosial-ekonomi terletak pada visi Gereja tentang martabat manusia sebagai ciptaan Allah dan karena itu kudus. Sebagai ciptaan Ilahi, Allah hadir dalam diri setiap orang. Tidak ada dimensi kehidupan manusia yang  luput dari perhatian dan cinta Allah. Karena itu martabat pribadi manusia merupakan tolok ukur untuk berbagai program, kegiatan dan kebijakan pengembangan dan pemberdayaan sosial- ekonomi. Martabat manusia tidak bisa menjadi alat yang bisa dieksploitasi untuk tujuan-tujuan sempit seperti mendapatkan kekayaan, kedudukan dan jabatan sosial sesaat. Ketika institusi atau tatanan sosia-ekonomi gagal merespons martabat manusia dan sebaliknya memperparah kemiskinan maka, tatanan sosial-ekonomi seperti penerapan mekanisme pasar secara brutal perlu dipertanyakan secara serius dan ditransformasi (Curan. 2002; Gutierrez, 1983; KWI, 2006).

Kitab Suci selalu mengingatkan rencana dan kerinduan Allah atas diri manusia. Allah menghendaki supaya setiap manusia saling menghormati dan menghargai satu terhadap yang lain. Penghargaan ini dapat ditunjukan melalui cara hidup yang dijiwai semangat kekeluargaan dan keadilan termasuk keadilan sosia-ekonomi. Sikap adil ini ditunjukan pertama-tama kepada kelompok masyarakat kecil, miskin dan termarginalisasi. Sikap adil ini perlu juga diperlihatkan dalam kegiatan pembangunan dan pemberdayaan sosial-ekonomi yang berpihak kepada kepentingan masyarakat kecil dan miskin. Dalam iman Kristiani, keberpihakan ini tidak lain merupakan wujud konkrit partisipasi aktif manusia dalam karya penciptaan Ilahi dengan maksud membangun suatu bentuk kehidupan bersama yang layak dan adil (Gutierrez, 1983; The Bishop Conference of the United States. 2009).

Realitas sosial-ekonomi sering menunjukan bahwa kekayaan alam dan lingkungan yang tersedia untuk semua orang telah dimonopoli dan rusak karena keserakahan segelintir orang yang terus mengejar keuntungan pribadi. Kerakusan ini merupakan akar dari berbagai bentuk kemiskinan material dan moral yang membelenggu sekian banyak orang saat ini. Meskipun demikian, banyak elit politik dan bisnis sampai saat ini tetap saja melihat  kaum miskin sebagai penyebab utama kemiskinan karena kebodohan dan kemalasan sendiri. Ketika menuding terus masyarakat kecil sebagai sumber kemiskinan maka, mata banyak orang tidak akan bisa melihat lagi bahwa kerakusan, kurangnya kemampuan pemimpin bangsa mengelola potensi kekayaan masyarakat secara adil, elit politik yang terlalu mengedepankan kepentingan pribadi, serta korupsi sebagai penyebab struktural dari persoalan kemiskinan (Ola Rongan, 2009).

Ketika dunia dilanda kemiskinan, ketidakadilan sosial serta kerakusan manusia, Putera Allah datang menebarkan kasih Ilahi kepada semua orang, terutama kepada yang miskin dan lemah. Dengan menjadi manusia, Yesus Putera Allah berbicara dan menjanjikan pembebasan bagi “kaum tawanan” dan “penglihatan bagi orang buta”. Pada saat tampil pertama kali di depan umum, Yesus memaklumkan: “Roh Allah ada diatas diriku, karena Allah mengurapi aku untuk memaklukan kabar gembira kepada kaum miskin” (Lk 18; Yes 61: 1-2). Dalam Injil Lukas, Yesus menunjukan keberpihakannya kepada orang miskin dengan mengecam orang kaya: “tetapi celakalah kamu yang kaya sebab dengan kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburan” (Lk 6:24) (Gutierrez, 1983; Michael Mattei, 2003; Curan, 2002).

Karya cinta kasih dan pembebasan Yesus itu memberi pesan bahwa orang kaya dan berkuasa perlu mawas diri agar tidak terbelenggu oleh sikap cinta diri yang sempit dan buta terhadap kepentingan sesama. Yesus menasehati para muridNya supaya melawan ketamakan dan sikap yang menggantungkan diri secara berlebihan pada kekayaan material dan kuasa duniawi. Yesus mempertegas hal ini melalui perumpamaan tentang hidup seorang laki-laki yang langsung lenyap ketika sedang bersusah payah mengumpulkan kekayaan (Lk 12: 13-21). Pada sisi lain, pembebasan Yesus membuat kaum miskin dan lemah tidak boleh pasrah, putus asah dan tenggelam di dalam ketidakberdayaan. Masyarakat kecil dan lemah tidak boleh buta terhadap berbagai peluang untuk membangun hidup menjadi lebih baik dan manusiawi. Karya pembebasan Yesus harus menjadi sumber inspirasi dan kekuatan mengubah kondisi kehidupan sosial-ekonomi menjadi lebih baik. Yesus tidak menolak kekayaan. Hal ini terlihat dari sikap Yesus yang memuji hamba yang menggandakan talentanya, tetapi mengecam hamba yang malas dan tidak menggandakan talenta. Alasan Yesus tidak menolak kekayaan ialah karena kelayakan hidup dan martabat manusia sebagai ciptaan Allah diukur juga menurut pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi. (Gutierrez, 1983; Michael Mattei, 2003).

Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Sebagai Sebuah Model Evangelisasi

Setelah membaca realitas sosial-ekonomi dan merefleksikannya dalam terang iman kristiani maka, langkah berikutnya ialah mencari dan menawarkan suatu model evangelisasi (pewartaan) yang memungkinkan masyarakat bisa mengalamai suatu kehidupan yang lebih baik tidak hanya secara spiritual tetapi juga secara material (sosial-ekonomi). Disini akan didiskusikan ”Pemberdayaan Sosial-Ekonomi” sebagai suatu model evangelisasi dengan sasaran peningkatan kualitas serta pemenuhan kebutuhan rohani dan jasmani (sosial-ekonomi) masyarakat kecil dan miskin (Michael Mattei, 2003; The Bishop Conference of the United States. 2009).

Pilihan atas pemberdayaan sosial-ekonomi sebagai sebuah model evangelisasi ini terletak pada panggilan dan misi Gereja mewartakan harapan akan kebaikan, kemajuan, kesejahteraan dan keadilan hidup bersama. Harapan tentang kebaikan ini mempunyai dasar kuat dalam janji Allah: ”Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada hari Kristus Yesus” datang. Janji Allah ini mengandung arti bahwa Allah tetap giat dan aktif memanggil dan membimbing setiap orang untuk mengambil bahagian dalam aktivitas Ilahi yaitu membangun dan memanfaatkan dunia demi kehidupan yang lebih baik, layak dan membebaskan. Kitab Kejadian serta Kebijaksanaan secara jelas mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah untuk menghasilkan buah, menguasai dan sekalihgus memimpin, merawat dan mengarahkan dunia ini sesuai dengan kehendak Ilahi (Kejadian 2: 15; 1:28; Kebijaksanaan 9:3).

Tugas dan tanggungjawab mengolah dan membangun dunia ini memerlukan kesanggupan, pengetahuan dan keterampilan khusus. Merspons kebutuhan akan kesanggupan, pengetahuan dan keterampilan ini, Gereja perlu memiliki kepekaan dan komitmen yang kuat untuk mendorong kerjasama antara elemen pemerintah, kekuatan pasar dan komunitas basis guna melakukan bersama kegiatan ”pemberdayaan sosial- ekonomi” masyarakat, terutama masyarakat kecil dan terpinggirkan. Dimaksudkan dengan pemberdayaan sosial-ekonomi ialah usaha memberi motivasi, dorongan, pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat agar mampuh mengolah dan memanfaatkan potensi dan energi ekonomi mereka sendiri secara kreatif dan berkelanjutan seturut kehendak Ilahi. Pemberdayaan ini diharapkan dapat menggerakan potensi masyarakat untuk membangun kesejahteraan sosial-ekonomi dengan kekuatan sendiri serta membebaskan mereka dari ketergantungan hidup kepada kekuatan ekonomi makro (berskala besar) serta belas kasihan pemerintah dan segelintir orang kaya (Ola Rongan, 2009; KWI, 2006).

Pemberdayaan sosial-ekonomi sesungguhnya terjadi secara konkrit ketika Gereja  mulai melakukan pendidikan serta pengadaan modal secara mandiri untuk pemberdayaan. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan dan pembentukan sikap enterpreneurship, suka menabung, hidup hemat dan jujur serta ulet dan disiplin dalam kerja. Pemberdayaan sosial-ekonomi juga terjadi ketika Gereja mulai terlibat aktif mendidik dan mendorong umat basis untuk memperjuangkan dan melindungi bersama lingkungan hidup sendiri termasuk lahan produktif; mengorganisir pengaturan sampah secara sehat dan produktif; mengupayakan tersedianya informasi bagi masyarakat kecil tentang peluang usaha, bantuan finansial, produksi, pasar; dan kerjasama dengan berbagai instansi lain demi kemajuan dan kesejahteraan hidup bersama (Konpernas XXI PSE KWI. 2008; KWI, 2000).

Pemberdayaan sosial-ekonomi ini tentunya perlu didukung oleh sebuah pola hidup spiritualitas yang lebih menekankan nilai kemerdekaan, kebebasan dan pertobatan. Bukanya pola spiritualitas yang menekankan nilai pragmatis,  individualistik atau sibuk dengan diri sendiri. Singkatnya, pemberdayaan memerlukan dukungan sikap pertobatan hidup yang bisa dihayati melalui beberapa cara sebagai berikut:

Pertama, membangun tekad dalam diri masyarakat kecil/miskin supaya berani mengubah hidup dengan kekuatan sendiri tanpa bergantung pada inisiatif atau kekuatan luar seperti pemilik modal dan pemerintah. Tekad ini berakar pada keyakinan dasar bahwa setiap orang termasuk masyarakat yang paling miskin dan lemah sekalipun memiliki enegri atau potensi mengubah hidup dengan kekuatan sendiri.

Kedua, mendesak para pembuat dan pelaksana kebijakan publik supaya menghentikan kecenderungan menjual-beli jabatan dan posisi yang diperoleh dari rakyat demi keuntungan sendiri. Sebaliknya mendorong upaya membuat dan merealisir kebijakan publik yang bermuara pada proses pemberdayaan, kemandirian, serta kesejahteraan  dan keadilan sosial-ekonomi.

Ketiga, menggalang dan mendorong para cerdik-pandai supaya lebih terbuka dan aktif melakukan kajian kritis tentang ide/gagasan serta cara-cara berpikir tentang pembangunan dan pemberdayaan sosial-ekonomi yang  terlalu dipolitisir dan merugikan masyarakat miskin dan lemah. Kajian kritis itu diharapkan pula dapat melahirkan ide/gagasan, cara berpikir serta tindakan baru dengan menempatkan pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat kecil sebagai prioritas (KWI, 2000; KWI, 2006).

Penutup

Indonesia dilimpahi dengan kekayaan sumber alam secara luar biasa. Meskipun demikian, kita terus menyaksikan sekian banyak warga kita tetap hidup dalam miskin. Karena itu kemiskinan merupakan suatu masalah besar bagi bangsa kita saat ini.

Berbagai usaha telah dilakukan pihak pemerintah dan swasta untuk mengatasi  kemiskinan. Tetapi upaya itu belum menunjukkan kemajuan yang berarti karena terhadang oleh sejumlah faktor seperti penerapan mekanisme pasar secara brutal, kebijakan publik yang tidak berpihak pada masyarakat kecil, globalisasi dan kesenjangan budaya.

Melihat realitas kemiskinan ini, Gereja terpanggil untuk melibatkan diri aktif dalam proses pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat dengan visi membangun manusia swadaya. Manusia swadaya ialah manusia yang mampu berpikir, merencanakan dan mewujudkan mimpi, harapan dan cita-cita hidup kedepan dengan usaha dan kekuatan sendiri demi suatu kehidupan yang lebih layak dan adil.

Pemberdayaan sosial-ekonomi perlu didukung oleh sikap pertobatan sejati dalam arti  pembaharuan tekad dan keberanian melepaskan diri dari kebergantungan pada pemilik modal besar dan pemerintah; menciptakan kebijakan publik yang mendorong tercapainya kemandirian sosial-ekonomi rakyat; serta menumbuhkan kesadaran akan panggilan intelektual dan nurani untuk menawarkan cara berpikir dan bertindak secara yang lebih kreatif dan inovatif demi perubahan hidup yang lebih baik.


Responses

  1. Yesterday i spent 300 $ for platinium roulette system , i hope that i will make my first money online


Leave a comment

Categories